Wilayah kecil yang dimiliki, membuat Singapura berhitung masak-masak soal tata ruang maupun tata guna lahan. Gedung-gedung pencakar langit yang berjejal di sana tak membuat suasana kota jadi menyiksa. Itu lantaran tersedia ruang-ruang hijau yang cukup di sela bangunan-bangunan berbahan beton dan metal tersebut.
Pemegang otoritas membuat taman-taman hampir di setiap sudut kota. Jalan-jalan dibangun dengan sistematis dan amat terencana, baik jalan layang maupun jalan biasa. Pejalan kaki mendapatkan hak semestinya. Mereka disediakan pedestrian area cukup lebar. Ya boleh dikata, pejalan kaki di Singapura adalah raja.
Demikian juga soal transportasi tersedia amat memadai, baik jumlah maupun kualitasnya. Selain mobil pribadi, warga Singapura menggunakan sejumlah alat transportasi massal untuk beraktivitas atau bepergian seperti taksi, bus kota, dan kereta api cepat bawah tanah.
Jalan-jalan raya di Singapura nyaris bebas dari kemacetan. Arus lalu lintas berjalan normal dan lancar. Di sini tampak betapa rasio perbandingan antara prasarana jalan dan jumlah kendaraan cukup berimbang.
Seperti kita tahu, Pemerintah Singapura memberlakukan pembatasan usia kendaraan bermotor di negerinya, yakni selama lima tahun. Dengan demikian, kita hampir tak melihat mobil butut berseliweran di jalanan Negeri Singa. Kebijakan itu sekaligus mengontrol jumlah kendaraan bermotor di sana.
Meski punya mobil, banyak warga Singapura yang tak sungkan mamakai angkutan umum. Apa sebabnya? Angkutan di negeri itu relatif aman dan nyaman.
Tak perlu berdesak-desakan atau berpeluh kepanasan sebab hampir semua dilengkapi air conditioner (AC). Sebagian angkutan umum bahkan berkategori mewah.
Dalam sebuah kesempatan, saya bersama beberapa mahasiswa Udinus Semarang memakai jasa angkutan taksi. Dari Orchard Road, kami menuju ke kawasan Little India yang berjarak kurang lebih 4 km. Di depan sebuah plaza, kami menunggu angkutan berargo meter itu. Banyak orang yang bertujuan sama membuat antrean di taxi halte menjadi panjang. Enggan menunggu lama, kami putuskan memanggil taksi via operator.
Melalui telepon, pihak operator meminta data nama pemesan dan lokasi penjemputan. Sebaliknya, kami sebagai pemesan diberi tahu nomor taksi yang akan datang. Tak lama berselang, taksi yang kami tunggu-tunggu tiba. Aha, ternyata taksi itu sebuah sedan Mercedes Benz seri terbaru yang tentu masih mulus. Hanya, kemewahan itu harus dibayar dengan harga setara. Sesampai di tempat tujuan, kami lihat argo meter menerakan satuan angka yang harus kami bayar. Semula tampak jumlah yang semestinya namun tiba-tiba angka bertambah dua kali lipat. Belakangan kami tahu, penambahan merupakan pajak yang harus dibayar karena memanggil taksi melalui jasa operator. ''Pantas, banyak yang memilih baris di antrean,'' keluh seorang mahasiswa.
MRT
Secara umum, terdapat dua perusahaan jasa transportasi besar di Singapura, yakni Singapore Mass Rapid Transportation (SMRT) Corporation dan Singapore Bus Service (SBS) Transit. Dua perusahaan ini yang memberi pelayanan transportasi di seluruh penjuru negeri. SMRT punya beberapa divisi usaha, antara lain kereta api bawah tanah Mass Rapid Transit (MRT), taksi, dan bus.
Di antara jenis angkutan tersebut, MRT paling banyak digemari. Selain cepat, alat transportasi ini menjangkau segala penjuru Negara Kota Singapura. Menurut Senior Officer Comunity Affairs SMRT Robert Hee, jumlah penumpang angkutan itu mencapai 1,2 juta orang per hari, jauh lebih banyak dibanding penumpang bus. MRT di Singapura diluncurkan kali pertama pada 1987, dengan jalur Yio Chu Kang-Toa Payoh. Setahap demi setahap, pemegang otoritas menambah jaringan rel kereta ke segenap penjuru kota. Saat ini, panjang jaringan rel itu mencapai 34 km. ''Pada tahun 2010, panjang jaringan rel MRT ditargetkan mencapai 132 km,'' papar Robert Hee, saat melakukan presentasi di hadapan rombongan tur studi Udinus di kantor SMRT, 251 North Bridge Road, Singapura, beberapa waktu lalu.
Penting diketahui, karena infrastruktur MRT dibangun pemerintah, keuntungan yang didapat dibagi dua dengan besaran persentase disepakati. Penentuan harga tiket, mutlak menjadi kewenangan pemerintah. SMRT hanya mengikuti kebijakan yang telah ditentukan.
Untuk naik MRT, penumpang harus melalui stasiun-stasiun bawah tanah yang ada. Berbeda dari kereta-kereta di Indonesia, pembelian tiket MRT dilakukan secara swalayan dengan menggunakan teknologi digital. Langkah pertama, mendatangi mesin penjual tiket dan menentukan stasiun yang dituju menggunakan touch screen (layar sentuh). Kemudian memasukkan uang ke dalam mesin. Taruh misal dari Orchard ke Sumerset, ongkosnya Sin $ 0,8,-. Calon penumpang harus memasukkan uang dengan jumlah lebih banyak, yakni Sin $ 1,8,- Kelebihan itu dimaksudkan sebagai jaminan. Setelah uang dimasukkan, akan keluar tiket berbentuk plastik beserta uang kembalian.
Dengan menempelkan tiket tersebut ke detektor, seseorang bisa masuk ke dalam ruang tunggu penumpang. Setelah sampai di stasiun tujuan, tiket kembali difungsikan sebagai kunci pembuka untuk keluar stasiun. Terakhir, tiket harus dimasukkan kembali ke dalam mesin penjual tiket digital untuk mengambil uang jaminan. Sekilas, rangkaian prosedur itu terlihat rumit dan membingungkan. Namun bagi warga Singapura, itu sudah biasa.
Suasana stasiun bawah tanah MRT terlihat bersih dan mewah, laiknya sebuah mal. Oh ya, pada setiap stasiun, dibangun pusat perbelanjaan yang menyediakan aneka kebutuhan, dari makanan, pakaian hingga barang-barang seperti merchandise. Seperti terlihat di Stasiun Raffles City yang kami kunjungi.
Lantas, bagaimana dengan interior MRT? Pada setiap gerbong, kursi-kursi penumpang ditata berderet dan berhadap-hadapan. Penumpang yang tak kebagian tempat duduk disediakan pegangan di tengah gerbong.
Hampir semua alat transportasi di Singapura didesain untuk memudahkan penyandang cacat. Taksi milik SMRT misalnya, menyediakan pintu khusus yang bisa dibuka lebar untuk mereka yang menggunakan kursi roda.
Ya, sistem transportasi umum di Singapura dirancang sedemikian rupa untuk memberikan kemudahan dan kenyamanan para pengguna. Dengan demikian, semua lapisan masyarakat tak merasa sungkan memanfaatkannya. Rasa-rasanya, hal itu sangat berbeda dari kondisi sarana transportasi umum di Indonesia yang cenderung kumuh, sesak, dan tidak nyaman.
0 komentar:
Posting Komentar